I.
PENDAHULUAN
Sejalan dengan
sumber pengetahuan hukum Islam, yaitu naqliyah dan aqliyah,
maka pemahaman dan penafsiran atas sumber hukum
Islam pun digunakan metode naqliyah dan aqliyah.
Dari sudut lain, metode memahami sumber naqliyah (Al-Qur’an) yang dianut oleh para pakar hukum Islam, ada dua aliran. Pertama,
aliran literalisme.
Yakni aliran yang mengambil makna dan hukum dari al-Qur’an secara harfiah.
Kedua,
aliran spritualisme,
yakni aliran yang menafsirkan ayat-ayat hukum secara metaforis atau ta’wil.
Aliran ini melakukan penafsiran secara metaforik selama tidak bertentangan
secara tekstual dengan ayat-ayat hukum lainnya. Aliran inilah yang kemudian
menjadi pendukung kuat metode qiyas.
Qiyas dianggap
sebagai prinsip, dasar, atau sumber hukum yangn keempat. Pertama, Al-Qur’an. Kedua, Hadits. Ketiga, Ijma’, dan Keempat, Qiyas. Dan ia juga
dipandang sebagai salah satu ijtihad (Penalaran Hukum). Karena, ia
merupakan proses ijtihad yang sistematis untuk mengungkap ketetapan hukum, yang sepenuhnya bergantung pada otoritas lain,
baik Al-Qur’an maupun Al-Sunnah.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apa Pengertian Qiyas?
B.
Apa sajakah Rukun-rukun Qiyas?
C.
Apa sajakah Syarat-syarat Qiyas?
D.
Apa sajakah Macam-macam Qiyas?
E.
Bagaimana Qiyas sebagai salah satu Metode Istinbat Hukum Islam?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Qiyas
Secara bahasa Qiyas berati mengukur, menyamakan, dan menghimpun atau ukuran,
skala, bandingan, dan analogi.
Adapun pengertian qiyas secara istilah banyak
sekali definisi yang dapat dijumpai.
Sadr Asy-Syari’ah (w.747 H/1346 M) seorang tokoh ushul
fiqih Hanafi, mendefinisikan qiyas dengan:
اَلْقِيَاسُ هُوَ تَعَدِّيَّةُ الْحُكْمِ مِنَ الْأَصْلِ
اِلَى الْفَرْعِ لِعِلَّةٍ مُتَّحِدَةٍ لَاتُدْرَكَ بِمُجَرَّدِ الْلُّغَةِ
“Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’
disebabkan kesatuan ‘illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja.”
Maksudnnya, ‘illat yang ada pada satu nash sama dengan ‘illat
yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seorang mujtahid. Karena kesatuan ‘illat
ini, maka hukum dari kasus yang sedang
dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nash tersebut.
Adapun mayoritas ulama Syafi’iyah mendefinisikan
qiyas dengan:
حَمْلٌ غَيْرِمَعْلُوْمٍ عَلَى مَعْلُوْمٍ فِى اِتْبَاتِ
اْلحُكْمِ لَهُمَا اَوْ نَفْيِهِ عَنْهُمَا بِأَمْرٍ جَامِعٍ بَيْنَهُمَا مِنْ حُكْمٍ اَوْصِفَةٍ
“Membawa hukum yang (belum) diketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam
rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya,
disebabkan sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hukum maupun sifat.”
Saifudin Al-Amidi, mendefinisikan qiyas dengan:
عِبَارَةٌ عَنِ اْلِإِسْتِوَاءِ بَيْنَ الْفَرْعِ
وَالْأَصْلِ فِى الْعِلَّةِ اْلمُسْتَنْبِطَةِ مِنْ حُكْمِ اْلأَصْلِ
“Mempersamakan ‘illat yang ada pada furu’
dengan ‘illat yang ada pada ashal yang dinisbathkan dari hukum
asal.”
اِلْحَاقُ اَمْرٍ غَيْرِ مَنْصُوْصٍ عَلَى حُكْمِهِ
اْلشَرْعِيِّ بِأَمْرٍ مَنْصُوْصٍ عَلَى حُكْمِهِ لِاشْتِرَا كِهِمَا فِى عِلَّةِ الْحُكْم
“Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan
hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan ‘illat
hukum antara keduanya.”
اِلْحَاقُ اَمْرٍ لِأَمْرٍ اَخَرَ فِى اْلحُكْمِ
لِاتِّحَادِ هُمَا فِى الْعِلَّةِ فَيَتّحِدَانِ فِى الْحُكْمِ
“Menghubungkan sesuatu pekerjaan kepada yang lain tentang hukumnya, karena
kedua pekerjaan itu bersatu pada sebab, yang menyebabkan bersatu pada hukum.”
Sebuah prinsip untuk menerapkan hukum yang terkandung di dalam Al-Quran atau ketetapan
dalam sunah pada permasalahan yang tidak jelas ketetapannya di dalam kedua
sumber hukum islam tersebut. Imam Syafi’i adalah salah satu di antara tokoh
pembangun dan pengguna prinsip qiyas ini.
Sebagai metode ijtihad, qiyas didefinisikan oleh
para ulama dengan redaksi yang berbeda-beda, namun memiliki maksud yang sama.
Menurut Abd Al-Wahhab Khallaf mendefinisikan qiyas dengan upaya menghubungkan
suatu peristiwa yang tidak ada nash tentang hukumnya dengan peristiwa yang ada nash
hukum, karena terdapatnya persamaan ‘illat.
Contoh qiyas, sebagaimana hadis yang menggambarkan
upaya qiyas yang dilakukan oleh Nabi ketika seorang sahabat datang
kepada Nabi Muhammad SAW, menanyakan tentang keharusan penunaian kewajiban
ibadah haji bapaknya yang mengidap sakit. Nabi menegaskan keharusan
penunaiannya dengan melakukan peng-qiyas-an terhadap pembayaran hutang antara
sesama manusia.
Selengkapnya hadis tersebut berbunyi:
جَآءَ تْهُ اِمْرَاةً خُثَعْمِيَةً فَقاَلَتْ
يَارَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اَبَى اَدْرَكَتْهُ فَرِيْضَةَ الْحَجِّ وَلَمْ يَحِجُّ
وَهُوَ لاَيَسْتَمْسِكُ عَلَى الرَاحِلَةِ لِمَرَضِهِ اَفَاحَجُّ عَنْهُ,
فَقَالَ صَلىَّ اللهُ عَلَىْهِ وَسَلَّمَ اَرَاَيْتِ لَوْكَانَ عَلَى اَبِيْكَ
دَيْنٌ اِقْتَضَيْتِهِ عَنْهُ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ فَدَيْنُ اللهِ اَحَقُّ اَنْ
يَقْضِيَ
“Seorang
wanita namanya Khusa’miah datang kepada Nabi dan bertanya? Ya Rasullah! Ayah
saya seharusnya telah menuaikan kewajiban ibadah haji, dia tidak kuat duduk di
atas kendaraan karena sakit. Apakah saya harus melakukan haji untuknnya? Jawab
Rasulullah dengan bertanya bagaimana pendapatmu bila ayahmu mempunyai utang?
Apakah engkau harus membayar? Perempuan itu menjawab: Ya, Nabi berkata utang
kepada Allah lebih utama dibayar.” [1]
B. Rukun-rukun
Qiyas
Qiyas tidak
akan terbentuk kecuali didukung oleh 4 (empat) unsur rukun yaitu: al-ashl, al-far’u, hukum
al-ashl, dan ‘illat.
1. Al-Ashl adalah masalah pokok yang sudah jelas status
hukumnya dengan berlandaskan nash syara’. Al-Ashl disebut juga maqis
‘alaih (yang menjadi ukuran), atau mahmul ‘alaih (tempat
membandingkan), atau musyabbah bih (tempat menyerupakan).
2. Al-Far’u adalah masalah yang tidak ditegaskan status
hukumnya oleh nash syara’. Al-Far’u disebut juga maqis (yang
diukur), atau mahmul (yang dibandinngkan), atau musyabbah (yanng
diserupakan).
3. Hukum Al-Ashl adalah status hukum yang ditetapkan nash
syara’ terhadap al-ashl.
C. Syarat-syarat
Qiyas
Untuk dapat melakukan
Qiyas terhadap suatu masalah
yang belum ada ketentuannya dalam Al-Qur’an dan hadits harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Hendaklah
hukum asalnya tidak berubah-ubah atau belum dinasakhkan artinya hukum yang
tetap berlaku.
2. Asal serta
hukumnya sudah ada ketentuan menurut agama artinya sudah ada menurut ketegasan
Al-Qur’an dan hadits.
3. Hendaklah
hukum yang berlaku pada asal berlaku pula qiyas, artinya hukum asal
itu dapat diperlakukan pada qiyas.
4. Tidak boleh
hukum furu’ (cabang) terdahulu pada hukum asal, karena
untuk menetapkan hukum berdasarkan kepada illat-nya.
5. Hendaklah sama
‘illat yang ada pada
furu’ dengan ‘illat yang ada pada ashal.
6. Hukum yang ada
pada furu’ hendaklah sama dengan hukum yang ada pada ashal. Artinya tidak boleh hukum furu’ menyalahi hukum ashal.
7. Tiap-tiap ada ‘illat ada hukum dan
tidak ada ‘illat tidak ada
hukum. Artinya ‘illat itu selalu ada.
8. Tidak boleh ‘illat itu
bertentangan menurut ketentuan-ketentuan agama, artinya tidak boleh menyalahi
kitab dan sunnah. [3]
D. Macam-macam
Qiyas
Para Ulama ushul fiqih menyatakan bahwa qiyas dapat
dibagi dari beberapa segi, antara lain sebagai berikut:
1. Dilihat dari segi kekuatan ‘illat yang
terdapat pada furu’, dibandingkan dengan yang terdapat pada ashl. Dari segi ini
qiyas dibagi menjadi tiga macam, yaitu (a) qiyas al-aulawi, (b) qiyas
al-musawi, dan (c) qiyas al-adna.
2. Dari segi kejelasan ‘illat yang terdapat pada hukum, qiyas dibagi kepada dua macam,
yaitu (a) qiyas al-jaly dan (b) qiyas al-khafy.
3. Dilihat dari keserasian ‘illat dengan hukum,
qiyas dibagi atas dua bentuk, yaitu (a) qiyas al-mu’atstsir, dan (b) qiyas
al-mula’im.
4. Dilihat dari segi kejelasan atau tidaknya
‘illat pada qiyas tersebut, qiyas dapat dibagi kepada tiga bentuk, yaitu: (a) qiyas
al-ma’na, (b) qiyas al-‘illat, (c) qiyas ad-dalalah.
5. Dilihat dari segi metode (masalik) dalam
menemukan ‘illat, qiyas dapat dibagi:
a. Qiyas
Al-Ikhalah (قِيَاسُ الإِخَالَة).
b. Qiyas
Asy-Syabah (قِيَاسُ الشَّبَه) .
c. Qiyas As-Sabru (قِيَاسُ السَّبْر)
1) Qiyas
Al-Aulawi
Qiyas Al-Aulawi adalah qiyas yang hukum pada fara’,sebenarnya
lebih utama ditetapkan dibanding dengan hukum ashl. Seperti haramnya
hukum mengucapkan kata-kata “ah” kepada kedua orang tua, berdasarkan firman
Allah SWT:
فَلاَ تَقُلْ لَّهُمَآاُفٍّ..........
...... maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya
perkataan “ah”...... (QS. Al-Isra’ (17): 23)
‘Illat-nya adalah menyakiti hati kedua orang tua. Bagaimana
hukum memukul orangn tua? Dari kedua peristiwa nyatalah bahwa hati orang tua
lebih sakit bila dipukul anaknya dibanding dengan ucapan “ah” yang diucapkan
anaknya kepadanya. Karena itu, sebenarnya hukum yang ditetapkan bagi fara’
lebih utama dibanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashl.
2) Qiyas Al-Musawi
Qiyas Al-Musawi adalah
مَاكَانَتِ اْلعِلَّةُ فِيْهِ مُوْجِبَةٌ
لِلْحُكْمِ وَكَانَ اْلمُلْحِقُ مُتَسَاوِيًا بِا لْحُكْمِ فِيْهِ لِلْمُلْحَقِ
بِهِ
Suatu qiyas yang ‘illat-nya yang mewajibkan hukum, atau meng-qiyas-kan
sesuatu kepada suatu yang bersamaan kedua-duanya dalam keputusan menerima hukum
tersebut.
Pengertian lain bahwa qiyas al-musawi adalah qiyas hukum yang
ditetapkan fara’ sebanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashl. Atau
hukum furu’ sama kualitasnya dengan hukum yang ada pada ashl,
karena kualitas ‘illat pada keduanya juga sama. Contohnya menjual harta
anak yatim di-qiyas-kan kepada memakan harta anak yatim. Memakan harta
anak yatim haram hukumnya, berdasarkan firman Allah SWT:
اِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ
اَمْوَالَ الْيَتَمَى ظُلْمًا اِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ نَارًا.....
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya..... (QS, An—Nisa’ (4):
10)
3) Qiyas Al-Adna
Qiyas Al-Adna adalah:
مَاكَانَ الْمُلْحَقُ اَدْنَ بِا لْحُكْمِ
فِيْهِ بِا لْمُلْحَقِ بِهِ
Meng-qiyas-kan sesuatu yang kurang patut menerima hukum yang
diberikan kepada sesuatu yang memang patut menerima hukum itu.
Atau ‘illat yang ada pada furu’ lebih lemah dibandingkan
dengan ‘illat yang ada pada ashl. Artinya ikatan ‘illat yang
ada pada furu’ sangat lemah dibanding ikatan ‘illat yang ada pada
ashl.
Contohnya, meng-qiyas-kan hukum mengaramkan orang laki-laki memakai
perak kepada hukum orang laki-laki memakai emas, dengan sebab sama-sama
bersifat memegahkan diri. Atau meng-qiyas-kan apel pada gandum dalam hal
berlakunya riba fadhl, karena keduanya mengandung ‘illat yang
sama, yaitu sama-sama jenis makanan. Dalam hadis Rasulullah saw. Dikatakan
bahwa benda sejenis apabila dipertukarkan dengan berbeda kuantitasnya maka
perbedaan itu menjadi riba fadhl. Dalam hadis tersebut diantaranya
disebutkan gandum (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh sebab itu, Imam Syafi’i mengatakan bahwa dalam jual beli apel pun bisa
berlaku riba fadhl. Akan tetapi, berlakunya hukum riba pada apel
lebih lemah dibandingkan dengan yang berlaku pada gandum karena ‘illat riba
fadhl pada gandum lebih kuat.
4) Qiyas Al-Jaly
Qiyas Al-Jali adalah qiyas yang ‘illat-nya berdasarkan
dalil yang pasti, tidak ada kemungkinan lain selain dari ‘illat yang
ditunjukkan oleh dalil itu. Atau qiyas yang ‘illat-nya ditetapkan
oleh nash bersamaan dengan hukum ashl atau nash tidak
menetapkan ‘illat-nya, tetapi dipastikan bahwa tidak ada pengaruh
perbedaan antara ashl dengan furu’.
Dalam qiyas al-jaly terdapat keseimbangan dan tidak terdapat
perbedaan antara pokok qiyas dan cabang qiyas. Seperti, meng-qiyas-kan
budak perempuan dengan budak laki-laki. Walaupun terdapat perbedaann antara
perempuan dan laki-laki, namun dalam
hukum perbudakan keduanya tidak berbeda.
Qiyas Al-Jaly dibagi menjadi: (a) qiyas yang ‘illat-nya
ditunjuk dengan kata-kata, seperti memabukkan adalah ‘illat larangan
meminum khamr yang disebut dengan jelas dalam nash,(b) qiyas aulawi, (c)
qiyas musawi.
5) Qiyas Al-Khafy
Qiyas Al-Khafy adalah qiyas yang ‘illat-nya mungkin
dijadikan ‘illat dan mungkin pula tidak dijadikan ‘illat. Atau qiyas
yang ‘illat-nya tidak disebutkan dalam nash.
Contohnya meng-qiyas-kan sisa minuman burung buas kepada sisa
minuman binatang buas. ‘Illat-nya adalah kedua binatang itu sama-sama
minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya bercampur dengan sisa minuman itu. ‘Illat
ini mungkin dapat digunakan untuk sisa burung buas dan mungkin pula tidak,
karena mulut burung buas berbeda dengan mulut binatang buas. Mulut burung buas
terdiri dari tulang atau zat tanduk. Tulang atau zat tanduk adalah suci, sedang
mulut binatang buas adalah daging, daging binatang buas adalah haram, namun
kedua-duanya adalah mulut dan sisa minuman. Adapun yang tersembunyi disini
adalah mulut burung buas yang berupa tulang atau zat tanduk.
6) Qiyas Al-Mu’atstsir
Qiyas Al-Mu’atstsir adalah qiyas yang menjadi penghubung antara ashl
dengan furu’ ditetapkan melalui nash sharih atau ijma’ atau
qiyas yang ‘ain shifat (sifat itu sendiri) yang menghubungkan ashl
dengan furu’ berpengaruh pada hukum itu sendiri.
Contohnya adalah meng-qiyas-kan hak perwalian dalam menikahkan anak
dibawah umur kepada hak perwalian atas hartanya, dengan ‘illat belum
dewasa. ‘illat belum dewasa ini
ditetapkan melalui ijma’.
Contoh ‘ain shifat yang
berpengaruh pada ‘ain hukum adalah meng-qiyas-kan minuman keras
yang dibuat dari bahan selain anggur kepada khamr (dibuat dari anggur) dengan ‘illat
sama-sama memabukkan. ‘illat memabukkan
pada kedua jenis benda ini berpengaruh pada hukum keharaman meminumnya.
7) Qiyas Al-Mula’im
Qiyas Al-Mula’im adalah qiyas yang ‘illat hukum ashl-nya
mempunyai hubungan yang serasi.
Contoh, menng-qiyas-kan pembunuhan dengan benda berat kepada
pembunuhan dengan benda tajam. ‘Illat pada hukum ashl mempunyai
hubungan yang serasi.
8) Qiyas Al-Ma’na
Qiyas Al-Ma’na adalah qiyas yang didalamnya tidak dijelaskan ‘illat-nya,
tetapi antara ashl dan furu’ tidak dibedakan, sehingga furu’ seakan-akan ashl.
Contoh, meng-qiyas-kan membakar harta anak yatim pada memakannya,
yang ‘illat-nya sama-sama menghabiskan harta anak yatim itu secara
lazim.
9) Qiyas Al-‘Illat
Qiyas Al-‘Illat adalah qiyas yang mempersamakan ashl dengan fara’,
karena keduanya mempunyai persamaan ‘illat.
Contoh, qiyas minuman keras yang dibuat dari kurma dengan minuman
keras yang dibuat dari anggur. ‘Illat hukum dalam keduanya memabukkan.
Qiyas ‘illat terbagi menjadi (a)qiyas jaly,(b) qiyas khafi.
10) Qiyas Ad-Dalalah
Qiyas ad-Dalalah adalah qiyas yang ‘illat-nya tidak disebut,
tetapi merupakan petunjuk yang menunjukkan adanya ‘illat untuk
menetapkan sesuatu hukum dari suatu peristiwa.
Seperti, harta kanak-kanak yang belum baligh, apakah wajib
ditunaikan zakatnya atau tidak. Para ulama yang menetapkannya wajib meng-qiyas-kannya
kepada harta orang yang telah baligh, karena ada petunjuk yang menyatakan ‘illat-nya, yaitu kedua harta itu sama-sama dapat
bertambah atau berkembang. Tetapi Mazhab Hanafi, tidak meng-qiyas-kannya
kepada orang yang telah baligh, tetapi kepada ibadah, seperti shalat,
puasa dan sebagainya. Ibadah hanya diwajibkan kepada orang yang mukallaf,
termasuk di dalamnya orang yang telah baligh, tetapi tidak diwajibkan
kepada anak kecil (orang yang belum baligh). Karena itu anak kecil tidak
wajib menunaikan zakat hartanya yang telah memenuhi syarat-syarat zakat.[5]
11) Qiyas Al-Ikhalah
Qiyas Al-Ikhalah adalah:
Qiyas yang mengunakan metode penetapan ‘illat dengan teori munasabah
(persesuaian) dan ikhalah.[6]
Munasabah
yaitu perihal sifat pemberlakuan hukum yang
mengandung kemaslahatan yang diakui oleh syara’, seperti memabukkan
dalam pengharaman khamr, dan kemaslahatan yang teralisir dengan
pengharaman ini terwujud dalam menjaga kesehatan akal dari kerusakan yang
disebabkan oleh khamr. Inti munasabah-nya adalah: perihal sifat Munasib
itu disertai hukum yang
dijelaskan dalam nash, dan bahwa sifat itu selamat dari cacat ‘illat,
serta terdapat dalil independensi sifat itu dengan munasabah, tanpa
sifat yang lain, sehingga diketahui bahwa sifat itu adalah ‘illat hukum tersebut.[7]
Ikhalah; indikasi kesesuaian antara
sifat dan hukum, yakni jika penetapan hukum meniscayakan realisasi kemaslahatan
yang dimaksudkan oleh syara’. Penentuan ‘illat pada ashl dengan
sekadar kesesuaian sifat, bukan melalui teks atau lainnya. Contoh, unsur
memabukkan merupakan sifat yang sesuai dengan pengharaman khamr. Sebab,
sifat-sifat lainnya tidak relevan sebagai ‘illat khamr misalnya: berupa
cairan; berwarna merah atau manis; semua itu tidak sesuai sebagai ‘illat haramnya
khamr, seba dalam harus mengindikasikan kesesuaian. Dengan demikian,
unsur memabukkan dianggap sebagai ‘illat keharaman khamr, dan
tiap kali unsur ini ditemukan dalam minuman itupun haram. Sebab unsur ini merupakan indikasi dari hukum
haram, bukan yang lainnya.[8]
12) Qiyas As-Syabah
Qiyas As-Syabah yaitu menyamakan far’u
dengan ashl karena banyak memiliki keserupaan sifat dengan ashal,
tanpa meyakini bahwa keserupaan far’u dengan ashal itu adalah ‘illat
dari hukum ashal.
Misalnya menyimpulkan
tidak adanya kewajiban sujud tilawah berdasarkan kebolehan melakukannya di atas
unta tanpa uzur. Jelasnya bahwa dalam kasus itu, si pelaku qiyas
menyimpulkan keberlakuan sebuah hukum berdasarkan beberapa hukum furu’,
yaitu kebolehan melakukan sujud di atas unta sebagai hukum yang berlaku pada
satu kasus far’u itu, yaitu bersifat anjuran bukan wajib.
13) Qiyas As-Sabru
Qiyas As-Sabru yaitu qiyas yang ‘illat-nya ditetapkan melalui
metode as-sabr wa at-taqsim. Sedangkan qiyas
as-sabr wa at-taqsim adalah qiyas yang ditetapkan ‘illat-nya sesudah
dilakukan penelitian dan peninjauan yang lebih dalam. Pada awalnya dikumpulkan
segala sebab yang terdapat pada pokok, lalu dibatalkan segala yang tidak dapat
dipandang sebab dan diambil yang tidak dapat ditolak lagi.
Contohnya, meng-qiyas-kan jagung
kepada gandum. Didalam gandum terdapat washaf, yaitu makanan,
pengenyangan, dan sukatan (ukuran). Akan tetapi, makanan dan mengenyangkan
tidak dapat dipakai sebab maka tinggallah sukatan saja yang menjadi sebab.[9]
14) Qiyas At-Thard
Qiyas At-Thard yaitu
qiyas yang sifatnya tidak mencerminkan hukum, juga bukan hal yang lazim
bagi sesuatu yang sesuai dengan hukum itu.
Misalnya meng-qiyas-kan
minuman perasan pada khamr dengan konvergensi warna dan tingkat
ekstasenya. Sifat-sifat ini tidak berkaitan dengan hukum, dan mutlak bukan
berupa kelaziaman dari hukum.[10]
E. Qiyas sebagai
salah satu Metode Istinbat Hukum Islam
Jumhur Ulama’ dari kalangan sahabat dan tabi’in menyatakan bahwa qiyas
itu bias menjadi hujjah. Sedangkan
Dawud Adh Dhohiry dan Ibnu Hazm, Ulama’-ulama’ Syi’ah dan sebagian Mu’tazilah
menyatakan bahwa qiyas tidak
menjadi hujjah.
Alasan Jumhur menerima qiyas
menjadi hujjah adalah mendasarkan
pada alasan-alasan sebagai berikut:
Firman Allah SWT yang artinya:
“Maka ambillah I’tibar (pelajaran) wahai orang-orang yangn mempunyai
fikiran.”
Demikian juga didukung oleh hadits Muadz bin Jabal tatkala di utus
Nabi SAW ke Yaman, yang mana dasar hukum yang dipakai adalah Al-Qur’an, as-Sunnah dan al-Ijtihad. Yang dikehendaki dengan ijtihad
menurut pandangan golongan ini adalah dengan kemampuan daya fikiran dan
kemampuan lainnya menetapkan hukum dengan tetap melihat ketentuan yang telah
ada pada Nash yakni dengan cara meng-qiyas. Dalam hadits Muadz
tersebut tidaklah diterangkan secara spesifik tentang urusan ibadah ataupun mu’amalah.
Sedangkan alasan mereka yang menolak qiyas sebagai
hujjah adalah, karena dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah semua peristiwa sudah ada
ketentuan hukumnya baik tersurat maupun tersirat, oleh karenanya untuk memahami
cukup dengan ijtihad. Apalagi dalam urusan ibadah makhdlah, tatacaranya telah
dicontohkan oleh Nabi SAW, apalagi dalam urusan agama, Allah SWT telah
mengingatkan bahwa:
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ- ق- المائدة 3
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu,”
Dalam hal duniawi Nabi SAW bersabda:
انتم اعلم بأمر دنياكم - رواه مسلم
IV.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Qiyas adalah
menyamakan hukum yang belum ada dasarnya dengan yang sudah ada hukumnya.
Rukun-rukun qiyas yaitu: ashl, far’u, Hukum
ashl, dan ‘illat.
Syarat-syarat Qiyas:
1.
Hendaklah hukum asalnya tidak berubah-ubah atau belum dinasakhkan artinya
hukum yang tetap berlaku.
2.
Asal serta hukumnya sudah ada ketentuan menurut agama artinya sudah ada
menurut ketegasan Al-Qur’an dan hadits.
3.
Hendaklah hukum yang berlaku pada asal berlaku pula qiyas,
artinya hukum asal itu dapat
diperlakukan pada qiyas.
4.
Tidak boleh hukum furu’ (cabang) terdahulu pada hukum asal,
karena untuk menetapkan hukum berdasarkan kepada illat-nya.
5.
Hendaklah sama ‘illat yang ada pada furu’ dengan ‘illat
yang ada pada ashal.
6.
Hukum yang ada pada furu’ hendaklah sama dengan hukum yang ada pada ashal.
Artinya tidak boleh hukum furu’ menyalahi hukum ashal.
7.
Tiap-tiap ada ‘illat ada hukum dan tidak ada ‘illat tidak ada hukum. Artinya ‘illat itu selalu ada.
8.
Tidak boleh ‘illat itu bertentangan menurut ketentuan-ketentuan agama,
artinya tidak boleh menyalahi kitab dan sunnah.
Macam-macam Qiyas: Qiyas al-aulawi, qiyas
al-musawi, qiyas al-adna, qiyas al-jaly, qiyas khafy, qiyas al-muatstsir, qiyas
al-mula’im, qiyas al-ma’na, qiyas al-‘illat, qiyas ad-dalalah, qiyas
al-ikhalah, qiyas asy-syabah, qiyas as-sabru, qiyas at-thard.
B. Saran
Demikianlah makalah yang
dapat kami susun. Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penyusun
dan umumnya bagi kita semua. Apabila ada
kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin,Zen. 2009.
Ushul Fiqih. Yogyakarta: Teras.
Aripin, Jaenal.2012. Kamus Ushul Fiqh Dalam Dua Bingkai Ijtihad. Jakarta:
Kencana Media Group.
Asmawi. 2001. Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta:
Amzah Bumi Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar