Sabtu, 10 Januari 2015

makalah Qiyas sebagai Metode Istinbat Hukum Islam

I.                   PENDAHULUAN
Sejalan dengan sumber pengetahuan hukum Islam, yaitu naqliyah dan aqliyah, maka pemahaman dan penafsiran atas sumber hukum Islam pun digunakan metode naqliyah dan aqliyah. Dari sudut lain, metode memahami sumber naqliyah (Al-Qur’an) yang dianut oleh para pakar hukum Islam, ada dua aliran. Pertama, aliran literalisme. Yakni aliran yang mengambil makna dan hukum dari al-Qur’an secara harfiah. Kedua, aliran spritualisme, yakni aliran yang menafsirkan ayat-ayat hukum secara metaforis atau ta’wil. Aliran ini melakukan penafsiran secara metaforik selama tidak bertentangan secara tekstual dengan ayat-ayat hukum lainnya. Aliran inilah yang kemudian menjadi pendukung kuat metode qiyas.
Qiyas dianggap sebagai prinsip, dasar, atau sumber hukum yangn keempat. Pertama, Al-Quran. Kedua, Hadits. Ketiga, Ijma’, dan Keempat, Qiyas. Dan ia juga dipandang sebagai salah satu ijtihad (Penalaran Hukum). Karena,  ia merupakan proses ijtihad yang sistematis untuk mengungkap ketetapan hukum, yang sepenuhnya bergantung pada otoritas lain, baik Al-Qur’an maupun Al-Sunnah.
II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Apa Pengertian Qiyas?
B.     Apa sajakah Rukun-rukun Qiyas?
C.     Apa sajakah Syarat-syarat Qiyas?
D.    Apa sajakah Macam-macam Qiyas?
E.     Bagaimana Qiyas sebagai salah satu Metode Istinbat Hukum Islam?
III.             PEMBAHASAN
A.    Pengertian Qiyas
Secara bahasa Qiyas berati mengukur, menyamakan, dan menghimpun atau ukuran, skala, bandingan, dan analogi.
Adapun pengertian qiyas secara istilah banyak sekali definisi yang dapat dijumpai.
Sadr Asy-Syari’ah (w.747 H/1346 M) seorang tokoh ushul fiqih Hanafi, mendefinisikan qiyas dengan:
اَلْقِيَاسُ هُوَ تَعَدِّيَّةُ الْحُكْمِ مِنَ الْأَصْلِ اِلَى الْفَرْعِ لِعِلَّةٍ مُتَّحِدَةٍ لَاتُدْرَكَ بِمُجَرَّدِ الْلُّغَةِ
Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan ‘illat yang tidak dapat dicapai melalui  pendekatan bahasa saja.

Maksudnnya, ‘illat yang ada pada satu nash sama dengan ‘illat yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seorang mujtahid. Karena kesatuan ‘illat ini, maka  hukum dari kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nash tersebut.
Adapun mayoritas ulama Syafi’iyah mendefinisikan qiyas dengan:
حَمْلٌ غَيْرِمَعْلُوْمٍ عَلَى مَعْلُوْمٍ فِى اِتْبَاتِ اْلحُكْمِ لَهُمَا اَوْ نَفْيِهِ عَنْهُمَا بِأَمْرٍ جَامِعٍ   بَيْنَهُمَا مِنْ حُكْمٍ اَوْصِفَةٍ                                                                                                       
“Membawa hukum yang (belum) diketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, disebabkan sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hukum maupun sifat.”
Saifudin Al-Amidi, mendefinisikan qiyas dengan:
عِبَارَةٌ عَنِ اْلِإِسْتِوَاءِ بَيْنَ الْفَرْعِ وَالْأَصْلِ فِى الْعِلَّةِ اْلمُسْتَنْبِطَةِ مِنْ حُكْمِ اْلأَصْلِ      
Mempersamakan ‘illat yang ada pada furu’ dengan ‘illat yang ada pada ashal yang dinisbathkan dari hukum asal.
اِلْحَاقُ اَمْرٍ غَيْرِ مَنْصُوْصٍ عَلَى حُكْمِهِ اْلشَرْعِيِّ بِأَمْرٍ مَنْصُوْصٍ عَلَى حُكْمِهِ  لِاشْتِرَا كِهِمَا فِى عِلَّةِ الْحُكْم                                           
Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan ‘illat hukum antara keduanya.
اِلْحَاقُ اَمْرٍ لِأَمْرٍ اَخَرَ فِى اْلحُكْمِ لِاتِّحَادِ هُمَا فِى الْعِلَّةِ فَيَتّحِدَانِ فِى الْحُكْمِ
“Menghubungkan sesuatu pekerjaan kepada yang lain tentang hukumnya, karena kedua pekerjaan itu bersatu pada sebab, yang menyebabkan bersatu pada hukum.”
Sebuah prinsip untuk menerapkan hukum yang terkandung di dalam Al-Quran atau ketetapan dalam sunah pada permasalahan yang tidak jelas ketetapannya di dalam kedua sumber hukum islam tersebut. Imam Syafi’i adalah salah satu di antara tokoh pembangun dan pengguna prinsip qiyas ini.
Sebagai metode ijtihad, qiyas didefinisikan oleh para ulama dengan redaksi yang berbeda-beda, namun memiliki maksud yang sama. Menurut Abd Al-Wahhab Khallaf mendefinisikan qiyas dengan upaya menghubungkan suatu peristiwa yang tidak ada nash tentang hukumnya dengan peristiwa yang ada nash hukum, karena terdapatnya persamaan ‘illat.
Contoh qiyas, sebagaimana hadis yang menggambarkan upaya qiyas yang dilakukan oleh Nabi ketika seorang sahabat datang kepada Nabi Muhammad SAW, menanyakan tentang keharusan penunaian kewajiban ibadah haji bapaknya yang mengidap sakit. Nabi menegaskan keharusan penunaiannya dengan melakukan peng-qiyas-an terhadap pembayaran hutang antara sesama manusia.
Selengkapnya hadis tersebut berbunyi:
جَآءَ تْهُ اِمْرَاةً خُثَعْمِيَةً فَقاَلَتْ يَارَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اَبَى اَدْرَكَتْهُ فَرِيْضَةَ الْحَجِّ وَلَمْ يَحِجُّ وَهُوَ لاَيَسْتَمْسِكُ عَلَى الرَاحِلَةِ لِمَرَضِهِ اَفَاحَجُّ عَنْهُ, فَقَالَ صَلىَّ اللهُ عَلَىْهِ وَسَلَّمَ اَرَاَيْتِ لَوْكَانَ عَلَى اَبِيْكَ دَيْنٌ اِقْتَضَيْتِهِ عَنْهُ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ فَدَيْنُ اللهِ اَحَقُّ اَنْ يَقْضِيَ
“Seorang wanita namanya Khusa’miah datang kepada Nabi dan bertanya? Ya Rasullah! Ayah saya seharusnya telah menuaikan kewajiban ibadah haji, dia tidak kuat duduk di atas kendaraan karena sakit. Apakah saya harus melakukan haji untuknnya? Jawab Rasulullah dengan bertanya bagaimana pendapatmu bila ayahmu mempunyai utang? Apakah engkau harus membayar? Perempuan itu menjawab: Ya, Nabi berkata utang kepada Allah lebih utama dibayar. [1]   
B.     Rukun-rukun Qiyas
Qiyas tidak akan terbentuk kecuali didukung oleh 4 (empat) unsur rukun yaitu: al-ashl, al-far’u, hukum al-ashl, dan ‘illat.
1.      Al-Ashl adalah masalah pokok yang sudah jelas status hukumnya dengan berlandaskan nash syara’. Al-Ashl disebut juga maqis ‘alaih (yang menjadi ukuran), atau mahmul ‘alaih (tempat membandingkan), atau musyabbah bih (tempat menyerupakan).
2.      Al-Far’u adalah masalah yang tidak ditegaskan status hukumnya oleh nash syara’. Al-Far’u disebut juga maqis (yang diukur), atau mahmul (yang dibandinngkan), atau musyabbah (yanng diserupakan).
3.      Hukum Al-Ashl adalah status hukum yang ditetapkan nash syara’ terhadap al-ashl.
4.      ‘Illat adalah suatu sifat (wasf) yang menjadi landasan keberadaan hukum al-ashl.[2]
C.    Syarat-syarat Qiyas
Untuk dapat melakukan Qiyas terhadap suatu masalah yang belum ada ketentuannya dalam Al-Qur’an dan hadits harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.       Hendaklah hukum asalnya tidak berubah-ubah atau belum dinasakhkan artinya hukum yang tetap berlaku.
2.       Asal serta hukumnya sudah ada ketentuan menurut agama artinya sudah ada menurut ketegasan Al-Qur’an dan hadits. 
3.       Hendaklah hukum yang berlaku pada asal berlaku pula qiyas, artinya hukum asal itu dapat diperlakukan pada qiyas.
4.       Tidak boleh hukum furu’ (cabang) terdahulu pada hukum asal, karena untuk menetapkan hukum berdasarkan kepada illat-nya.
5.       Hendaklah sama illat yang ada pada furu’ dengan illat yang ada pada ashal.
6.       Hukum yang ada pada furu’ hendaklah sama dengan hukum yang ada pada ashal. Artinya tidak boleh hukum furu’ menyalahi hukum ashal.
7.       Tiap-tiap ada illat ada hukum dan tidak ada illat tidak ada hukum. Artinya illat itu selalu ada.
8.       Tidak boleh illat itu bertentangan menurut ketentuan-ketentuan agama, artinya tidak boleh menyalahi kitab dan sunnah. [3]
D.    Macam-macam Qiyas
Para Ulama ushul fiqih menyatakan bahwa qiyas dapat dibagi dari beberapa segi, antara lain sebagai berikut: 
1.      Dilihat dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada furu’, dibandingkan dengan yang terdapat pada ashl. Dari segi ini qiyas dibagi menjadi tiga macam, yaitu (a) qiyas al-aulawi, (b) qiyas al-musawi, dan (c) qiyas al-adna.
2.      Dari segi kejelasan ‘illat yang terdapat  pada hukum, qiyas dibagi kepada dua macam, yaitu (a) qiyas al-jaly dan (b) qiyas al-khafy.
3.      Dilihat dari keserasian ‘illat dengan hukum, qiyas dibagi atas dua bentuk, yaitu (a) qiyas al-mu’atstsir, dan (b) qiyas al-mula’im.
4.      Dilihat dari segi kejelasan atau tidaknya ‘illat pada qiyas tersebut, qiyas dapat dibagi kepada tiga bentuk, yaitu: (a) qiyas al-ma’na, (b) qiyas al-‘illat, (c) qiyas ad-dalalah.
5.      Dilihat dari segi metode (masalik) dalam menemukan ‘illat, qiyas dapat dibagi:
a.       Qiyas Al-Ikhalah (قِيَاسُ الإِخَالَة).
b.      Qiyas Asy-Syabah (قِيَاسُ الشَّبَه) .
c.       Qiyas As-Sabru (قِيَاسُ السَّبْر)
d.      Qiyas At-Thard (قِيَاسُ الطَرْد).[4]
1)    Qiyas Al-Aulawi
Qiyas Al-Aulawi adalah qiyas yang hukum pada fara’,sebenarnya lebih utama ditetapkan dibanding dengan hukum ashl. Seperti haramnya hukum mengucapkan kata-kata “ah” kepada kedua orang tua, berdasarkan firman Allah SWT:

فَلاَ تَقُلْ لَّهُمَآاُفٍّ..........
...... maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”...... (QS. Al-Isra’ (17): 23)
‘Illat-nya adalah menyakiti hati kedua orang tua. Bagaimana hukum memukul orangn tua? Dari kedua peristiwa nyatalah bahwa hati orang tua lebih sakit bila dipukul anaknya dibanding dengan ucapan “ah” yang diucapkan anaknya kepadanya. Karena itu, sebenarnya hukum yang ditetapkan bagi fara’ lebih utama dibanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashl.  
2)   Qiyas Al-Musawi
Qiyas Al-Musawi adalah
مَاكَانَتِ اْلعِلَّةُ فِيْهِ مُوْجِبَةٌ لِلْحُكْمِ وَكَانَ اْلمُلْحِقُ مُتَسَاوِيًا بِا لْحُكْمِ فِيْهِ لِلْمُلْحَقِ بِهِ
Suatu qiyas yang ‘illat-nya yang mewajibkan hukum, atau meng-qiyas-kan sesuatu kepada suatu yang bersamaan kedua-duanya dalam keputusan menerima hukum tersebut.
Pengertian lain bahwa qiyas al-musawi adalah qiyas hukum yang ditetapkan fara’ sebanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashl. Atau hukum furu’ sama kualitasnya dengan hukum yang ada pada ashl, karena kualitas ‘illat pada keduanya juga sama. Contohnya menjual harta anak yatim di-qiyas-kan kepada memakan harta anak yatim. Memakan harta anak yatim haram hukumnya, berdasarkan firman Allah SWT:
 اِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ اَمْوَالَ الْيَتَمَى ظُلْمًا اِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ نَارًا.....
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya..... (QS, An—Nisa’ (4): 10)
3)      Qiyas Al-Adna
Qiyas Al-Adna adalah:
مَاكَانَ الْمُلْحَقُ اَدْنَ بِا لْحُكْمِ فِيْهِ بِا لْمُلْحَقِ بِهِ
Meng-qiyas-kan sesuatu yang kurang patut menerima hukum yang diberikan kepada sesuatu yang memang patut menerima hukum itu.
Atau ‘illat yang ada pada furu’ lebih lemah dibandingkan dengan ‘illat yang ada pada ashl. Artinya ikatan ‘illat yang ada pada furu’ sangat lemah dibanding ikatan ‘illat yang ada pada ashl.
Contohnya, meng-qiyas-kan hukum mengaramkan orang laki-laki memakai perak kepada hukum orang laki-laki memakai emas, dengan sebab sama-sama bersifat memegahkan diri. Atau meng-qiyas-kan apel pada gandum dalam hal berlakunya riba fadhl, karena keduanya mengandung ‘illat yang sama, yaitu sama-sama jenis makanan. Dalam hadis Rasulullah saw. Dikatakan bahwa benda sejenis apabila dipertukarkan dengan berbeda kuantitasnya maka perbedaan itu menjadi riba fadhl. Dalam hadis tersebut diantaranya disebutkan gandum (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh sebab itu, Imam Syafi’i mengatakan bahwa dalam jual beli apel pun bisa berlaku riba fadhl. Akan tetapi, berlakunya hukum riba pada apel lebih lemah dibandingkan dengan yang berlaku pada gandum karena ‘illat riba fadhl pada gandum lebih kuat.
4)      Qiyas Al-Jaly
Qiyas Al-Jali adalah qiyas yang ‘illat-nya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada kemungkinan lain selain dari ‘illat yang ditunjukkan oleh dalil itu. Atau qiyas yang ‘illat-nya ditetapkan oleh nash bersamaan dengan hukum ashl atau nash tidak menetapkan illat-nya, tetapi dipastikan bahwa tidak ada pengaruh perbedaan antara ashl dengan furu’.
Dalam qiyas al-jaly terdapat keseimbangan dan tidak terdapat perbedaan antara pokok qiyas dan cabang qiyas. Seperti, meng-qiyas-kan budak perempuan dengan budak laki-laki. Walaupun terdapat perbedaann antara perempuan dan  laki-laki, namun dalam hukum perbudakan keduanya tidak berbeda.
Qiyas Al-Jaly dibagi menjadi: (a) qiyas yang ‘illat-nya ditunjuk dengan kata-kata, seperti memabukkan adalah ‘illat larangan meminum khamr yang disebut dengan jelas dalam nash,(b) qiyas aulawi, (c) qiyas musawi.  
5)      Qiyas Al-Khafy
Qiyas Al-Khafy adalah qiyas yang ‘illat-nya mungkin dijadikan ‘illat dan mungkin pula tidak dijadikan ‘illat. Atau qiyas yang ‘illat-nya tidak disebutkan dalam nash.
Contohnya meng-qiyas-kan sisa minuman burung buas kepada sisa minuman binatang buas. ‘Illat-nya adalah kedua binatang itu sama-sama minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya bercampur dengan sisa minuman itu. ‘Illat ini mungkin dapat digunakan untuk sisa burung buas dan mungkin pula tidak, karena mulut burung buas berbeda dengan mulut binatang buas. Mulut burung buas terdiri dari tulang atau zat tanduk. Tulang atau zat tanduk adalah suci, sedang mulut binatang buas adalah daging, daging binatang buas adalah haram, namun kedua-duanya adalah mulut dan sisa minuman. Adapun yang tersembunyi disini adalah mulut burung buas yang berupa tulang atau zat tanduk.
6)      Qiyas Al-Mu’atstsir
Qiyas Al-Mu’atstsir adalah qiyas yang menjadi penghubung antara ashl dengan furu’ ditetapkan melalui nash sharih atau ijma’ atau qiyas yang ‘ain shifat (sifat itu sendiri) yang menghubungkan ashl dengan furu’ berpengaruh pada hukum itu sendiri.
Contohnya adalah meng-qiyas-kan hak perwalian dalam menikahkan anak dibawah umur kepada hak perwalian atas hartanya, dengan ‘illat belum dewasa. ‘illat  belum dewasa ini ditetapkan melalui ijma’.
Contoh ‘ain shifat  yang berpengaruh pada ‘ain hukum  adalah meng-qiyas-kan minuman keras yang dibuat dari bahan selain anggur kepada khamr (dibuat dari anggur) dengan ‘illat  sama-sama memabukkan. ‘illat memabukkan pada kedua jenis benda ini berpengaruh pada hukum keharaman meminumnya.
7)      Qiyas Al-Mula’im
Qiyas Al-Mula’im adalah qiyas yang ‘illat hukum ashl-nya mempunyai hubungan yang serasi.
Contoh, menng-qiyas-kan pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan dengan benda tajam. ‘Illat pada hukum ashl mempunyai hubungan yang serasi.  
8)      Qiyas Al-Ma’na
Qiyas Al-Ma’na adalah qiyas yang didalamnya tidak dijelaskan ‘illat-nya, tetapi antara ashl dan  furu’  tidak dibedakan, sehingga furu’  seakan-akan ashl.
Contoh, meng-qiyas-kan membakar harta anak yatim pada memakannya, yang ‘illat-nya sama-sama menghabiskan harta anak yatim itu secara lazim.
9)      Qiyas Al-‘Illat
Qiyas Al-‘Illat adalah qiyas  yang mempersamakan ashl dengan fara’, karena keduanya mempunyai persamaan ‘illat.
Contoh, qiyas minuman keras yang dibuat dari kurma dengan minuman keras yang dibuat dari anggur. ‘Illat hukum dalam keduanya memabukkan.
Qiyas ‘illat terbagi menjadi (a)qiyas jaly,(b) qiyas khafi.
10)  Qiyas Ad-Dalalah
Qiyas ad-Dalalah adalah qiyas yang ‘illat-nya tidak disebut, tetapi merupakan petunjuk yang menunjukkan adanya ‘illat untuk menetapkan sesuatu hukum dari suatu peristiwa.
Seperti, harta kanak-kanak yang belum baligh, apakah wajib ditunaikan zakatnya atau tidak. Para ulama yang menetapkannya wajib meng-qiyas-kannya kepada harta orang yang telah baligh, karena ada petunjuk yang menyatakan ‘illat-nya, yaitu kedua harta itu sama-sama dapat bertambah atau berkembang. Tetapi Mazhab Hanafi, tidak meng-qiyas-kannya kepada orang yang telah baligh, tetapi kepada ibadah, seperti shalat, puasa dan sebagainya. Ibadah hanya diwajibkan kepada orang yang mukallaf, termasuk di dalamnya orang yang telah baligh, tetapi tidak diwajibkan kepada anak kecil (orang yang belum baligh). Karena itu anak kecil tidak wajib menunaikan zakat hartanya yang telah memenuhi syarat-syarat zakat.[5]
11)  Qiyas Al-Ikhalah
Qiyas Al-Ikhalah adalah: Qiyas yang mengunakan metode penetapan ‘illat dengan teori munasabah (persesuaian) dan ikhalah.[6]
Munasabah yaitu perihal sifat pemberlakuan hukum yang mengandung kemaslahatan yang diakui oleh syara’, seperti memabukkan dalam pengharaman khamr, dan kemaslahatan yang teralisir dengan pengharaman ini terwujud dalam menjaga kesehatan akal dari kerusakan yang disebabkan oleh khamr. Inti munasabah-nya adalah: perihal sifat Munasib itu disertai hukum yang dijelaskan dalam nash, dan bahwa sifat itu selamat dari cacat ‘illat, serta terdapat dalil independensi sifat itu dengan munasabah, tanpa sifat yang lain, sehingga diketahui bahwa sifat itu adalah ‘illat hukum tersebut.[7]    
Ikhalah; indikasi kesesuaian antara sifat dan hukum, yakni jika penetapan hukum meniscayakan realisasi kemaslahatan yang dimaksudkan oleh syara’. Penentuan ‘illat pada ashl dengan sekadar kesesuaian sifat, bukan melalui teks atau lainnya. Contoh, unsur memabukkan merupakan sifat yang sesuai dengan pengharaman khamr. Sebab, sifat-sifat lainnya tidak relevan sebagai ‘illat khamr misalnya: berupa cairan; berwarna merah atau manis; semua itu tidak sesuai sebagai ‘illat haramnya khamr, seba dalam harus mengindikasikan kesesuaian. Dengan demikian, unsur memabukkan dianggap sebagai ‘illat keharaman khamr, dan tiap kali unsur ini ditemukan dalam minuman itupun haram. Sebab  unsur ini merupakan indikasi dari hukum haram, bukan yang lainnya.[8]
12)  Qiyas As-Syabah
Qiyas As-Syabah yaitu menyamakan far’u dengan ashl karena banyak memiliki keserupaan sifat dengan ashal, tanpa meyakini bahwa keserupaan far’u dengan ashal itu adalah ‘illat dari hukum ashal.
Misalnya menyimpulkan tidak adanya kewajiban sujud tilawah berdasarkan kebolehan melakukannya di atas unta tanpa uzur. Jelasnya bahwa dalam kasus itu, si pelaku qiyas menyimpulkan keberlakuan sebuah hukum berdasarkan beberapa hukum furu’, yaitu kebolehan melakukan sujud di atas unta sebagai hukum yang berlaku pada satu kasus far’u itu, yaitu bersifat anjuran bukan wajib.
13)  Qiyas As-Sabru
Qiyas As-Sabru yaitu qiyas yang ‘illat-nya ditetapkan melalui metode as-sabr wa at-taqsim. Sedangkan qiyas as-sabr wa at-taqsim adalah qiyas yang ditetapkan ‘illat-nya sesudah dilakukan penelitian dan peninjauan yang lebih dalam. Pada awalnya dikumpulkan segala sebab yang terdapat pada pokok, lalu dibatalkan segala yang tidak dapat dipandang sebab dan diambil yang tidak dapat ditolak lagi.
Contohnya, meng-qiyas-kan jagung kepada gandum. Didalam gandum terdapat washaf, yaitu makanan, pengenyangan, dan sukatan (ukuran). Akan tetapi, makanan dan mengenyangkan tidak dapat dipakai sebab maka tinggallah sukatan saja yang menjadi sebab.[9]   
14)  Qiyas At-Thard
Qiyas At-Thard yaitu qiyas yang sifatnya tidak mencerminkan hukum, juga bukan hal yang lazim bagi sesuatu yang sesuai dengan hukum itu.
Misalnya meng-qiyas-kan minuman perasan pada khamr dengan konvergensi warna dan tingkat ekstasenya. Sifat-sifat ini tidak berkaitan dengan hukum, dan mutlak bukan berupa kelaziaman dari hukum.[10]
E.     Qiyas sebagai salah satu Metode Istinbat Hukum Islam
Jumhur Ulama’ dari kalangan sahabat dan tabi’in menyatakan bahwa qiyas itu bias menjadi hujjah. Sedangkan Dawud Adh Dhohiry dan Ibnu Hazm, Ulama’-ulama’ Syi’ah dan sebagian Mu’tazilah menyatakan bahwa qiyas  tidak menjadi hujjah.
 Alasan Jumhur menerima qiyas  menjadi hujjah adalah mendasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:
Firman Allah SWT yang artinya:
Maka ambillah I’tibar (pelajaran) wahai orang-orang yangn mempunyai fikiran.
 Demikian juga didukung oleh hadits Muadz bin Jabal tatkala di utus Nabi SAW ke Yaman, yang mana dasar hukum yang dipakai adalah Al-Qur’an, as-Sunnah dan  al-Ijtihad. Yang dikehendaki dengan ijtihad menurut pandangan golongan ini adalah dengan kemampuan daya fikiran dan kemampuan lainnya menetapkan hukum dengan tetap melihat ketentuan yang telah ada pada Nash yakni dengan cara meng-qiyas. Dalam hadits Muadz tersebut tidaklah diterangkan secara spesifik tentang urusan ibadah ataupun mu’amalah.
Sedangkan alasan mereka yang menolak qiyas sebagai hujjah adalah, karena dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah semua peristiwa sudah ada ketentuan hukumnya baik tersurat maupun tersirat, oleh karenanya untuk memahami cukup dengan ijtihad. Apalagi dalam urusan ibadah makhdlah, tatacaranya telah dicontohkan oleh Nabi SAW, apalagi dalam urusan agama, Allah SWT telah mengingatkan bahwa:
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ- ق- المائدة 3
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu,
Dalam hal duniawi Nabi SAW bersabda:
انتم اعلم بأمر دنياكم - رواه مسلم
"Kamu lebih tahu urusan duniamu."[11]
IV.             PENUTUP
A.    Kesimpulan
Qiyas adalah menyamakan hukum yang belum ada dasarnya dengan yang sudah ada hukumnya. 
Rukun-rukun qiyas yaitu: ashl, far’u, Hukum ashl, dan ‘illat.
Syarat-syarat Qiyas:
1.      Hendaklah hukum asalnya tidak berubah-ubah atau belum dinasakhkan artinya hukum yang tetap berlaku.
2.      Asal serta hukumnya sudah ada ketentuan menurut agama artinya sudah ada menurut ketegasan Al-Qur’an dan hadits. 
3.      Hendaklah hukum yang berlaku pada asal berlaku pula qiyas, artinya hukum asal itu dapat diperlakukan pada qiyas.
4.      Tidak boleh hukum furu’ (cabang) terdahulu pada hukum asal, karena untuk menetapkan hukum berdasarkan kepada illat-nya.
5.      Hendaklah sama ‘illat yang ada pada furu’ dengan ‘illat yang ada pada ashal.
6.      Hukum yang ada pada furu’ hendaklah sama dengan hukum yang ada pada ashal. Artinya tidak boleh hukum furu’ menyalahi hukum ashal.
7.      Tiap-tiap ada illat ada hukum dan tidak ada illat tidak ada hukum. Artinya illat itu selalu ada.
8.      Tidak boleh illat itu bertentangan menurut ketentuan-ketentuan agama, artinya tidak boleh menyalahi kitab dan sunnah. 
Macam-macam Qiyas: Qiyas al-aulawi, qiyas al-musawi, qiyas al-adna, qiyas al-jaly, qiyas khafy, qiyas al-muatstsir, qiyas al-mula’im, qiyas al-ma’na, qiyas al-‘illat, qiyas ad-dalalah, qiyas al-ikhalah, qiyas asy-syabah, qiyas as-sabru, qiyas at-thard.
B.     Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami susun. Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penyusun dan umumnya bagi kita semua.  Apabila ada kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.




























DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin,Zen. 2009. Ushul Fiqih. Yogyakarta: Teras.
Aripin, Jaenal.2012. Kamus Ushul Fiqh Dalam Dua Bingkai Ijtihad. Jakarta: Kencana  Media Group.
Asmawi. 2001. Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Amzah Bumi Aksara.








[1] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih. (Jakarta: Amzah Bumi Aksara, 2009), hlm 270-272.
[2] Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah,2001), hlm 96.
[4] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih. hlm 273.

[5] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, hlm 277-285.
[6] Jaenal Aripin, Kamus Ushul Fiqh Dalam Dua Bingkai Ijtihad.(Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2012), hlm 155.
[7] Jaenal Aripin, Kamus Ushul Fiqh Dalam Dua Bingkai Ijtihad, hlm 228.
[8] Jaenal Aripin, Kamus Ushul Fiqh Dalam Dua Bingkai Ijtihad, hlm 257.

[9] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, hlm 278.
[10] Jaenal Aripin, Kamus Ushul Fiqh Dalam Dua Bingkai Ijtihad, hlm 164-165.
[11]Zen Amiruddin, Ushul Fiqih. (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm 100-101.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar